“Pemimpin yang unggul tahu kapan waktunya marah, di mana, dan bagaimana.”
Beberapa waktu lalu, saya membaca berita mengenai seorang pemimpin yang memarahi bawahannya karena penanganan isu yang mereka kelola.
Sebagai (calon) pemimpin dan orang yang tertarik mempelajari cara menjadi pemimpin yang hebat, ada pertanyaan dan pelajaran menarik yang mencuat dalam renungan saya:
1. Apakah marah bisa menyelesaikan masalah?
2. Adakah momen yang baik/cocok untuk meluapkan kemarahan?
3. Apakah marah-marah dibenarkan/diperbolehkan/dianjurkan?
Kalau pertanyaan "mengapa seseorang itu marah?", terlalu klise untuk ditanya.
Umumnya, marah terjadi kalau kita diancam, dizalimi, diperlakukan tidak adil, ditipu, dihina, frustasi karena tidak bisa melakukan sesuatu, dll.
Kembali ke pertanyaan di awal, apakah marah bisa menyelesaikan masalah? Bisa iya, bisa juga tidak.
Marah, kalau dilihat secara positif, bisa menjadi saluran komunikasi isi hati/uneg-uneg/luapan perasaan; dan (mungkin) bisa memotivasi atau memunculkan keberanian untuk melakukan perubahan.
Jika dipicu oleh alasan yang serius dan tepat, misalnya dizalimi, marah juga bisa membantu mencegah keburukan menimpa diri kita.
Tapi jika mudah tersinggung-marah oleh hal yang sederhana, temperamen mudah marah, menunjukkan adanya masalah pengendalian diri/anger management, yang perlu diperbaiki.
Baca juga: Cara Menangani Kesalahan Anggota Tim
Mengidentifikasi dan mencegah eskalasi emosi marah penting dilakukan sesegera mungkin.
Dalam skenario pimpinan di awal, sebelum marah-marah, perlu diketahui terlebih dulu, apakah sang pemimpin sudah menyampaikan ekspektasinya dengan jelas?
Menjabarkan what, when, where, when, dan juga why-nya secara lugas di awal, sehingga tim kerja memahami kemauannya tanpa perlu ditafsirkan/ambigu?
Apakah gambaran umum rencana aksi (how) juga sudah pernah didiskusikan bersama untuk mendapatkan komitmen target pencapaian?
Salah satu patokan 'kejelasan' yang bisa dipakai adalah akrononim SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound).
Kalau dari awal, ekspektasinya tidak jelas/tidak SMART, sebetulnya agak memalukan juga kalau marah-marah, karena hanya menunjukkan kegagalan peran pimpinan.
Sebelum marah, pemimpin patut juga berkaca diri, apakah telah melaksanakan perannya dengan baik?
Memonitor perkembangan secara kontinu, meminta kejelasan jika ada keraguan, mengidentifikasi anomali, memberikan arahan jika ada penyimpangan awal sebelum bertambah besar, dan melakukan coaching kinerja yang tidak sesuai?
Terutama untuk persoalan serius, periodic review akan sangat berguna untuk menjaga perkembangan berjalan sesuai rencana dan mencapai kesuksesan yang diharapkan.
Pertanyaan lanjutannya kemudian, apakah marah diperbolehkan?
Baca juga: Takut Mengakui Kita (Bisa) Salah
Secara ideal, seorang pemimpin sepatutnya harus selalu bisa mengartikulasikan kekhawatiran yang bisa membuat marah dengan cara yang konstruktif dan tidak membuat orang lain tersinggung atau terluka (fisik ataupun psikis).
Sebisa mungkin janganlah marah, selain berbahaya bagi kesehatan (darah tinggi, stroke, stres), jika dilepas tanpa kendali, marah bisa mengarah menjadi agresif, melukai orang lain, melakukan perbuatan yang akhirnya akan disesali belakangan.
Menjaga kondisi tubuh tetap fit, cukup istirahat, melakukan budaya sehat (makan teratur-bergizi, berolah raga, menghindari alkohol dan narkoba), dikatakan bisa membantu mengelola emosi.
Perkuat rasa rendah hati-kasih sayang, semangat untuk mengembangkan self-awareness/wisdom/kompetensi diri, dan selesaikan masalah internal pribadi (lain) yang membuat cemas.
Pemimpin yang unggul tahu kapan waktunya marah, di mana, dan bagaimana.
Menjalankan pengelolaan dinamika tim dan peran-peran kepemimpinan dengan baik seharusnya bisa membuat atmosfer kerja jadi positif, menyenangkan, dan pada gilirannya akan lebih produktif.
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Syamsul Arifin.