Solusi. Itu saja.
Kadang, solusinya lebih murah, lebih mudah atau lebih nyaman.
Tak heran jika semua unicorn saat ini punya layanan tak jauh berbeda satu dengan lainnya.
—
Pertanyaan yang lebih menarik, justru:
Kompensasi apa yang kita berikan atas solusi yang serba 'lebih' itu?
Sebuah bisnis, jelas mencari keuntungan material. Bentuknya sudah pasti uang.
Namun, uang di zaman sekarang bisa jadi tak terlalu berharga karena nilainya cenderung menurun tiap waktu, sehingga memiliki uang tunai dalam jumlah banyak mungkin dihindari.
Dengan begitu, bisnis perlu menyimpan atau menginvestasikan kembali keuntungannya dalam bentuk lain, yang nilainya tetap atau bertambah seiring waktu.
Contohnya, data.
Sebuah bisnis bisa jadi menukar potensi keuntungan materialnya dengan data penggunanya sendiri.
Tentu strategi itu telah dipikirkan; bagaimana nantinya data itu dikonversi menjadi uang yang lebih banyak.
Baca juga: 8 Strategi Psikologis Influencer dalam Memasarkan Produk
Ada yang bilang, jika sebuah produk/layanan yang kita gunakan itu gratis, maka kita (konsumen) adalah produk dari perusahaan tersebut.
Kepada siapa perusahaan menjual kita (sebagai produk)?
Kepada siapapun yang membutuhkannya.
Yang perlu dipahami tentang data di konteks ini, isinya tidak sekadar data di berita jual-beli nomor telepon atau email.
Maksudnya, kecil kemungkinannya sebuah unicorn menjual data email atau nomor telepon penggunanya.
Selain memang mempublikasikan data pribadi tanpa izin sepertinya melanggar hukum di Indonesia.
Lalu, data apa yang dijual?
Bukan data mentah, melainkan hasil analisisnya.
Contohnya: jika kamu telah melakukan survei makanan kesukaan warga sebuah desa, maka yang 'dijual' adalah hasil analisisnya:
- Makanan terfavorit dan yang dihindari
- Karakteristik rasa yang disukai dan dibenci
Hasil analisis seperti itulah yang lebih menarik. Data survei (mentah) bisa tak berarti apapun tanpa analisis.
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Agung Amal Cahyadi.