Kisah Otak yang Lelah: Brain Rot dalam Perspektif Neuropsikologi

Jan 20, 2025 4 Min Read
kecanduan dopamin dari media sosial
Sumber:

Freepik dari Freepik.com

Seorang pemuda bernama Raka (bukan nama yang sebenarnya), baru-baru ini merasakan hidupnya berubah menjadi kabur. Ia duduk di depan layar ponselnya hampir sepanjang hari, menggulir media sosial tanpa tujuan. Di sela-sela itu, ia menonton serial ringan tanpa akhir—satu episode bergulir ke episode berikutnya, tanpa memberi jeda bagi pikirannya. Pada awalnya, semua ini terasa menyenangkan. Tetapi lama-kelamaan, ada sesuatu yang berubah.

Raka mulai merasa sulit untuk fokus pada tugas-tugasnya. Ketika mencoba membaca buku yang dulu sangat ia nikmati, pikirannya melayang-layang, seolah-olah ada kabut yang menghalangi otaknya untuk benar-benar memproses apa yang ia baca. Ia juga mulai kehilangan motivasi untuk mengejar proyek-proyek pribadinya. "Entahlah," katanya pada dirinya sendiri, "sepertinya aku terlalu lelah."

Namun, apa yang terjadi pada Raka sebenarnya lebih dari sekadar rasa lelah belaka. Di balik layar, otaknya sedang berjuang.

Setiap kali Raka menggulir media sosial, otaknya dibanjiri dopamin—zat kimia yang memberikan rasa puas dan kesenangan yang instan. Sistem limbiknya, yang mengatur penghargaan dan emosi, menjadi sangat aktif. Ini menyebabkan Raka terus mencari lebih banyak stimulus yang cepat dan dangkal, tetapi tanpa sadar, bagian lain dari otaknya mulai tersisih. Prefrontal cortex, yang bertugas untuk membuat keputusan, merencanakan, dan berpikir kritis, mulai 'menganggur'. Aktivitas otak di area ini menurun karena ia tidak lagi menghadapi tantangan yang memerlukan pemikiran mendalam.

Pada saat yang sama, kemampuan otaknya untuk membentuk koneksi baru—disebut neuroplastisitas—juga berkurang. Setiap kali Raka memilih untuk menggulir media sosial atau menonton serial tanpa berpikir, ia melewatkan kesempatan untuk melatih otaknya dalam cara yang lebih kompleks dan produktif. Jalur-jalur neural yang dulu aktif menjadi lemah, seperti otot yang jarang digunakan.

Baca juga: Demensia Digital, Ketika Gadget Merusak Otak Anak Muda

multitasking main hp dan nonton laptop

PVProductions dari Freepik.com

Namun, yang paling mengganggu adalah bagaimana otaknya mulai ‘terperangkap’ dalam jaringan yang disebut Default Mode Network (DMN). Jaringan ini aktif ketika seseorang sedang melamun atau tidak fokus pada tugas tertentu. Karena kebiasaan multitasking Raka—melihat ponsel sambil makan, atau mendengarkan musik sambil menggulir media sosial—DMN menjadi dominan. Ini membuatnya semakin sulit untuk memulai atau menyelesaikan tugas yang membutuhkan fokus penuh.

Raka akhirnya menyadari ada sesuatu yang salah, Ia menghubungi saya dan ketika ketika ia bertemu saya, saya mencoba mentantang Raka untuk menulis sebuah esai untuk pekerjaannya. Ia duduk di depan laptop, tetapi tidak ada satu pun ide yang mengalir. Semuanya terasa datar dan membingungkan Menurutnya.  Dalam keheningan kita berdua, saya mulai bertanya, "Apa yang terjadi pada diri Raka?"

Setelah melalui percakapan yang panjang, kami menemukan jawabannya terletak pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang telah Ia anggap sepele. Kebiasaan itu mengubah dinamika otaknya secara perlahan, menyebabkan fenomena yang dikenal sebagai ‘brain rot’ Saya terangkan hal ini kepada Raka.

Baca juga: Memunculkan Ide dari Pikiran yang Jenuh

Berbekal rasa ingin bangkit dari keterpurukan ini, saya mulai membantu Raka untuk mencari cara  memperbaiki kondisinya saat ini. Pada sesi selanjutnya, ia mulai dengan langkah kecil—mematikan notifikasi media sosial dan menetapkan waktu khusus untuk menonton serial. Ia mengganti aktivitas menggulir (scrolling) dengan membaca buku yang menantang pikirannya. Di awal, ia merasa kesulitan. Saya kenalkan konsep ‘paksarela’ sebagai antitesis dari sukarela. Otak Raka, yang terbiasa dengan kepuasan instan, merindukan dorongan cepat dari scrolling tanpa henti lambat laun mulai berkurang, dan sesuatu mulai berubah.

Raka merasa pikirannya menjadi lebih jernih. Ia mulai menikmati proses pembelajaran lagi, merasakan kepuasan dari menyelesaikan sesuatu yang sulit. Ia juga mencoba meditasi ringan, membantu dirinya melatih kesadaran dan menyeimbangkan sistem limbiknya.

Proses ini tidak instan. Butuh berminggu-minggu bagi Raka yang saya dampingi terus untuk merasakan perbedaan signifikan. Namun, ia belajar bahwa otaknya, seperti tubuh, memiliki kemampuan luar biasa untuk pulih—selama ia memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk bertumbuh ini pelajaran yang sangat penting.

Dari kisah Raka melalui fase ‘brain rot’, kita dapat memahami bahwa meskipun otak kita bisa ‘layu’ karena kebiasaan tertentu, ada cara untuk menyegarkannya kembali. Dengan perhatian dan usaha, kita bisa memulihkan dinamika otak yang sehat dan kembali menjalani hidup dengan fokus, kreativitas, dan tujuan. Ini salah satu praktek nyata dari neurocoaching.

Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Heru Wiryanto.

Share artikel ini

Kepribadian

Tags: Konsultasi

heru wiryanto

Heru adalah seorang ahli di bidang Data Science dan Human Resources. Saat ini, Heru aktif sebagai Director of Innovation Factory di PsikoUpdate Indonesia dan Director of Data Sciences and Artificial Intelligence Consulting Services di DAVEHUNT International.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Kata Michelle Obama Tentang Keputusan yang Membedakan Orang Sukses

Kata Michelle Obama Tentang yang Membedakan Orang Sukses

Ketika kita membaca cerita orang-orang sukses, mudah untuk berpikir bahwa mereka memiliki bakat, ide, inspirasi, koneksi, dan lainnya yang tidak Anda miliki. Menurut Michelle Obama, tidak hanya sesederhana itu.

Mar 18, 2022 2 Min Read

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest