Namun, yang paling mengganggu adalah bagaimana otaknya mulai ‘terperangkap’ dalam jaringan yang disebut Default Mode Network (DMN). Jaringan ini aktif ketika seseorang sedang melamun atau tidak fokus pada tugas tertentu. Karena kebiasaan multitasking Raka—melihat ponsel sambil makan, atau mendengarkan musik sambil menggulir media sosial—DMN menjadi dominan. Ini membuatnya semakin sulit untuk memulai atau menyelesaikan tugas yang membutuhkan fokus penuh.
Raka akhirnya menyadari ada sesuatu yang salah, Ia menghubungi saya dan ketika ketika ia bertemu saya, saya mencoba mentantang Raka untuk menulis sebuah esai untuk pekerjaannya. Ia duduk di depan laptop, tetapi tidak ada satu pun ide yang mengalir. Semuanya terasa datar dan membingungkan Menurutnya. Dalam keheningan kita berdua, saya mulai bertanya, "Apa yang terjadi pada diri Raka?"
Setelah melalui percakapan yang panjang, kami menemukan jawabannya terletak pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang telah Ia anggap sepele. Kebiasaan itu mengubah dinamika otaknya secara perlahan, menyebabkan fenomena yang dikenal sebagai ‘brain rot’ Saya terangkan hal ini kepada Raka.
Baca juga: Memunculkan Ide dari Pikiran yang Jenuh
Berbekal rasa ingin bangkit dari keterpurukan ini, saya mulai membantu Raka untuk mencari cara memperbaiki kondisinya saat ini. Pada sesi selanjutnya, ia mulai dengan langkah kecil—mematikan notifikasi media sosial dan menetapkan waktu khusus untuk menonton serial. Ia mengganti aktivitas menggulir (scrolling) dengan membaca buku yang menantang pikirannya. Di awal, ia merasa kesulitan. Saya kenalkan konsep ‘paksarela’ sebagai antitesis dari sukarela. Otak Raka, yang terbiasa dengan kepuasan instan, merindukan dorongan cepat dari scrolling tanpa henti lambat laun mulai berkurang, dan sesuatu mulai berubah.
Raka merasa pikirannya menjadi lebih jernih. Ia mulai menikmati proses pembelajaran lagi, merasakan kepuasan dari menyelesaikan sesuatu yang sulit. Ia juga mencoba meditasi ringan, membantu dirinya melatih kesadaran dan menyeimbangkan sistem limbiknya.
Proses ini tidak instan. Butuh berminggu-minggu bagi Raka yang saya dampingi terus untuk merasakan perbedaan signifikan. Namun, ia belajar bahwa otaknya, seperti tubuh, memiliki kemampuan luar biasa untuk pulih—selama ia memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk bertumbuh ini pelajaran yang sangat penting.
Dari kisah Raka melalui fase ‘brain rot’, kita dapat memahami bahwa meskipun otak kita bisa ‘layu’ karena kebiasaan tertentu, ada cara untuk menyegarkannya kembali. Dengan perhatian dan usaha, kita bisa memulihkan dinamika otak yang sehat dan kembali menjalani hidup dengan fokus, kreativitas, dan tujuan. Ini salah satu praktek nyata dari neurocoaching.
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Heru Wiryanto.