8 Strategi Psikologis Influencer dalam Memasarkan Produk

Aug 24, 2023 5 Min Read
influencer yang sedang endorse
Sumber:

dari Freepik.com

Nathalie mendapat penghasilan dengan mempromosikan produk fashion di media sosial. Awalnya, ia merasa nyaman sebagai influencer karena memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri sesuka hati. Namun, seiring berjalannya waktu, tanggung jawab dan tekanan yang muncul karena seluruh kehidupannya ditampilkan di dunia maya berdampak buruk pada Natalie. Keharusannya untuk terus membuat konten baru dan beda dari yang lain mempengaruhi kesehatan mentalnya.

Seiring dengan meningkatnya followers Nathalie, ia mulai merasa dibatasi oleh jenis konten yang harus ia buat. Nathalie merasa bahwa ia harus menggambarkan versi fiksi dari hidupnya yang menjadi semakin tidak autentik. Ia menjadi dilema antara membuat konten yang benar-benar mencerminkan dirinya dan sebatas estetis saja.

Bahkan, tidak jarang Nathalie menerima pelecehan, ancaman, dan komentar pedas dari beberapa pengikutnya. Hal ini jelas mempengaruhi mental Nathalie.

Meski berhasil, Nathalie sering kali mempertanyakan alasan pengikutnya membeli produk yang ia rekomendasikan. Apa yang membuat pekerjaannya, influencer marketing secara umum, begitu spesial? 

Media sosial telah mengubah cara calon konsumen mengonsumsi konten seperti bagaimana teknologi merevolusi cara orang berinteraksi satu sama lain.

Dalam upaya mendekatkan diri dengan audiensnya, Nathalie menyadari bahwa ia telah menjadi sosok role model. Namun, upaya psikologis apa yang membuat pekerjaan ‘influencing’-nya menjadi begitu efektif?

Baca juga: Sountrack Tiada Akhir, Memikirkan Kembali Ketergantungan Kita Pada Hiburan Audio

Begini Cara Influencer ‘Mempengaruhi’ Kita

1. Keahlian bidang

Untuk membangun hubungan yang erat dengan para pengikutnya, influencer harus menunjukkan wawasan dan keahlian dalam bidang yang mereka geluti. 

Kredibilitas inilah yang sangat diperlukan oleh para influencer, termasuk Nathalie. Ia memiliki wawasan yang luas mengenai fashion dan alhasil, pengikut Nathalie mempercayai rekomendasinya. Pada dasarnya, masyarakat akan mempercayai individu yang mereka anggap ahli di bidangnya.

2. Intimasi palsu (pseudo-intimacy)

Influencer mengembangkan hubungan pribadi yang kuat dengan pengikutnya. Nathalie membangun koneksi ini dengan mengunggah foto dan video kehidupan sehari-harinya, menanggapi komentar serta pesan masuk yang ia terima. Melalui cara ini, Nathalie menampilkan dirinya sebagai influencer yang mudah didekati

Karena cara itulah pengikutnya dapat merasakan hubungan emosional dengan Nathalie, seolah-olah mereka berteman baik. Pengikut Nathalie pun tertarik dengan merek atau produk yang ia promosikan.

3. Kepercayaan melalui paparan berulang

Dalam sudut pandang psikologi, frekuensi paparan berdampak langsung pada loyalitas seseorang terhadap influencer. Melalui kontennya, Nathalie menjadikan dirinya sebagai sosok yang selalu hadir dalam kehidupan para pengikutnya. 

Semakin sering Nathalie mengekspos pengikutnya pada suatu konten, maka semakin besar kepercayaan mereka terhadap informasi yang ia berikan

Seiring berjalannya waktu, pengikut Nathalie semakin menyelaraskan keyakinan dan preferensi mereka dengan sudut pandangnya. Akibatnya, mereka bergantung pada pendapat dan rekomendasi Nathalie jika ingin membeli sesuatu. 

4. Solusi kelebihan informasi

Ketika kita ingin membeli sesuatu, sering kali kita menghadapi kelebihan informasi selama riset produk. Banyak dari kita merasa kesulitan untuk menyaring semua informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat dan mengikuti saran orang lain menjadi solusinya. 

Dengan cara ini, Nathalie bertindak sebagai semacam filter. Ia menggunakan otoritas, keahlian, dan kredibilitasnya untuk menyederhanakan informasi bagi para pengikutnya

Baca juga: Self-Sabotage: Pengertian, Contoh, dan Cara Mengatasinya

5. The sheeple effect

Hampir semua manusia cenderung berperilaku dengan cara kolektif yang serupa. Muncullah istilah untuk ini, yakni berperilaku seperti domba (sheeple). Hal ini berkaitan dengan influencer marketing yang memanfaatkan keinginan manusia untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Seperti hewan dalam kelompok, para ‘pengikut’ merasa lebih aman dengan pilihan opini populer. 

Audiens yang cukup besar berfungsi sebagai validasi atas keahlian dan kredibilitas influencer, karena begitu banyak orang lain yang menyetujui apa yang influencer tersebut lakukan. Nathalie pun menyadari bahwa semakin banyak jumlah pengikutnya, semakin dirinya terlihat kredibel.

6. Ilusi kontrol

Dewasa ini, sebagian besar orang lebih terpengaruh oleh influencer yang mereka minati daripada iklan tradisional. Tidak seperti iklan meresahkan yang muncul di televisi dan media sosial, promosi influencer tidak dipaksakan - melainkan dipilih oleh konsumen.

Pada dasarnya, karakteristik dasar manusia menginginkan kekuasaan dan kendali. Para pengikut pun percaya bahwa mereka memiliki kendali atas keputusan untuk mengikuti suatu influencer dan mengonsumsi konten yang mereka sukai.

7. The beauty bias

Beauty bias adalah fenomena sosial yang memiliki pengaruh luar biasa dalam masyarakat. Manusia memiliki kecenderungan untuk mempercayai orang-orang yang parasnya menarik, dengan menganggap bahwa mereka lebih cerdas, kompeten, dan mudah bergaul. 

Berbagai perusahaan memanfaatkan peluang dari bias kognitif ini melalui influencer marketing. Ketika seseorang yang berpenampilan menarik berkolaborasi dengan suatu merek, maka citra yang baik itu juga akan didapatkan oleh merek tersebut.

8. The halo effect

Sentimen positif terhadap seseorang, merek, atau produk sifatnya menular. Misalnya, seseorang yang dianggap ahli dalam suatu bidang juga dipercayai pendapatnya pada bidang lain. Nathalie menyadari bahwa pengikutnya pun  mempercayakan pendapatnya mengenai hal-hal yang tidak ia kuasai semata-mata karena kepercayaan yang telah mereka bangun padanya.

Baca juga: 18 Tanda Overthinking, Apakah Kamu Mengalaminya?

Dampak Buruk di Balik Aktivitas Influencing

orang yang sedang mengupdate media sosial

dari Freepik.com

Banyak media sosial yang sengaja dirancang untuk menjadi adiktif. Hal tersebut memicu pelepasan hormon dopamin, senyawa kimia di dalam otak yang meningkatkan suasana hati. Namun, penggunaan media sosial secara berlebihan meningkatkan kemungkinan terjadinya kecemasan, depresi, dan perasaan kesepian. Penting bagi influencer maupun pengikut untuk mewaspadai faktor risiko ini. 

Influencer telah menjadi pekerjaan yang populer dan perannya sangat relevan dalam masyarakat kontemporer. Namun, terdapat kekurangan di balik fenomena tersebut. Faktanya, batasan antara dunia maya dan dunia nyata semakin kabur.

Meskipun aktivitas ‘influencing’ dapat menginspirasi terjalinnya hubungan yang bermakna, tidak jarang media sosial menjadi ‘wadah’ terjadinya cyberbullying, penyebaran rumor, dan tipu daya akan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Tekanan yang diterima oleh para influencer dapat membuat mereka menutupi masalah kesehatan yang serius. Begitu juga dampak psikologis bagi para pengikut akibat terpapar gaya hidup yang tidak realistis.

Maka dari itu, dinamika toksik ini perlu disadari oleh para influencer dan pengikutnya. Apapun peran kita, penting bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan dan mengonsumsi konten di dunia maya.

Alt

Artikel ini diterbitkan ulang atas izin INSEAD Knowledge. Copyright INSEAD 2023.

Share artikel ini

Komunikasi

Tags: Konsultasi

manfred_kets_de_vries_7192b3_0cbe020c10.jpeg

Manfred F. R. Kets de Vries adalah akademisi manajemen, psikoanalisis, konsultan, dan profesor bidang ilmu Pengembangan Kepemimpinan dan Perubahan Organisasi di INSEAD.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Komunikasi Interpersonal yang Efektif di Tempat Kerja

Seberapa Intens Komunikasi yang Tergolong Cukup?

OLEH ANIISU K VERGHESE. Layar yang penuh dengan tumpukan email bukanlah tanda dari komunikasi yang efektif. Faktanya, hal tersebut bisa saja menghambat efektivitas Anda dalam berkomunikasi. Simak artikel berikut untuk ulasannya lebih lanjut.

Feb 24, 2022 1 Min Read

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest