Tanpa herd mentality, leluhur kita tidak akan mungkin berkelompok dan melawan berbagai hewan buas atau membantu satu sama lain mencari makanan. Selain sisi positifnya yang mendorong sesama manusia untuk bekerja sama, herd mentality dapat membuat kita mudah untuk dimanipulasi. Banyak pemimpin neo-authoritarian mengeksploitasi mentalitas ini untuk meraih kekuasaan.
Sisi gelap dari herd mentality adalah ketika aktivitas kebebasan berpendapat dibatasi secara perlahan. Akibatnya, terjadi konvergensi di mana setiap individu diatur untuk meniru dan mengikuti suatu sikap atau pandangan.
Peneliti menemukan bahwa hanya dibutuhkan sebanyak 5% dari suatu kelompok untuk mempengaruhi 95% lainnya secara tidak sadar. Pemimpin dari masa ke masa seperti Hitler, Stalin, Mussolini, Bolsonaro, Trump, hingga Xi telah memanfaatkan mentalitas ini untuk kepentingan mereka. Saat ini, kita bisa melihat bagaimana Putin memanipulasi rakyatnya dengan berbagai propaganda untuk merasionalisasikan konfrontasi militer Rusia terhadap Ukraina.
Herd mentality inilah yang membuat akal sehat manusia menjadi tumpul. Maka dari itu, tidak heran bila dalam situasi sulit kita akan selalu mencari sosok pemimpin kuat yang dapat memandu kita.
Baca juga: Rasional Menghadapi Quarter Life Crisis
Cara Membebaskan Diri dari Herd Mentality
1. Telusuri apa yang menjadi pendirian kita
Kita dapat mengurangi risiko herd mentality dengan membiasakan diri untuk berpikir independen. Biasakan untuk bertanya, mempertimbangkan pilihan sendiri, dan mengedukasi diri untuk membuat keputusan yang tepat meskipun hal tersebut membuat kita terlihat bodoh.
Pada dasarnya, mengikuti mayoritas adalah pilihan yang mudah. Penting untuk diingat bahwa meskipun orang lain lebih cepat dalam membuat keputusan, bukan berarti mereka lebih paham atau benar. Maka dari itu, kita harus menyadari dan memahami bias yang dapat mempengaruhi kita.
2. Menjustifikasi pilihan kita
Tendensi kita untuk mengikuti orang lain akan berkurang jika kita memahami secara jelas alasan kita memiliki pola pikir atau pendapat tertentu. Pendapat yang berbeda seharusnya memberikan ruang di antara kita untuk saling memahami dan berdiskusi, bukan secara membabi buta mengikuti mayoritas.
Baca juga: Menghadapi Emosi Negatif? Bagus, Jangan Sia-siakan!
3. Terapkan pola pikir bahwa mayoritas tidak selalu benar
Apapun yang menjadi pendirian kita, akan selalu ada tekanan sosial untuk diterima dalam suatu kelompok. Faktor inilah yang membuat perbedaan pendapat menjadi rumit.
Maka dari itu, kita harus menghindari pola pikir bahwa sesuatu sudah pasti benar jika mayoritas orang menyetujui hal tersebut. Sebaliknya, tanyakan pada diri kita apakah pilihan yang kita buat benar-benar cerminan dari pendirian kita atau kita membiarkan diri terjerat dalam bias.
4. Jangan tergesa-gesa membuat keputusan
Kita perlu menyadari bahwa emosi kita dapat mempengaruhi kapabilitas kita dalam membuat keputusan. Sayangnya, manusia cenderung tergesa-gesa dalam membuat keputusan ketika berada di bawah tekanan. Padahal, kita membutuhkan waktu untuk mencerna situasi dan akan lebih bijak membuat keputusan dengan kepala dingin.
Pada dasarnya, manusia telah berevolusi menjadi sedemikian rupa berkat kapasitasnya untuk berpikir mandiri dan bergantung pada orang lain. Hal inilah yang membantu kita belajar, menemukan, dan mengembangkan suatu ide
Kita tidak bisa mengabaikan sifat yang melekat secara alamiah begitu saja. Lagipula, manusia juga tidak bisa sepenuhnya hidup secara independen. Manusia terikat secara sosial, di mana kita akan berusaha mencari titik temu ketika berkumpul sebagai kelompok. Begitulah cara otak kita bekerja.
Oleh karena itu, tantangan kita adalah untuk membedakan antara mana yang merupakan kebijaksanaan dan mentalitas gerombolan.