Mengapa akhir-akhir ini sulit bagi kita untuk melakukan kegiatan sederhana tanpa diiringi soundtrack? Saya yakin bukan hanya keluarga saya yang merasakannya. Kami berlima—saya, suami, dan tiga anak laki-laki kami memiliki 8 AirPods dan merasa sangat puas dengan manfaatnya. Tapi, saya merasa bahwa tren ini bukanlah ‘teman’ kami.
Seiring berjalannya waktu, saya melihat keluarga kami merasa tidak nyaman dengan kesunyian—situasi hening tanpa stimulasi apapun. Baik itu mencuci piring, memotong sayur, mencukur, berolahraga, jalan pagi, dan melipat pakaian seperti terasa ada yang kurang jika tidak sambil mendengarkan podcast, lagu, ataupun audiobook. Bahkan ada orang-orang di luar sana yang tetap membutuhkannya saat bekerja.
Saya rasa bentuk eskapisme ini perlu untuk dikaji lebih dalam.
Saya sangat menyukai audiobook dan podcast. Karena itu, saya biasa mengeksplorasi ketertarikan saya terhadap personal development dan transportive fiction dalam bentuk audio. Namun, keinginan yang tak ada habisnya untuk selalu terhibur mendorong terbentuknya kebiasaan multitasking di sekitar kita. Akibatnya, kita lupa caranya untuk benar-benar menikmati hidup di masa sekarang. Bahkan, tidak jarang kebiasaan ini mendorong kita untuk lari dari kenyataan.
Berdasarkan pengamatan saya, saya memahami bahwa makna ‘presence’ atau kehadiran justru lebih merujuk pada keberadaan pikiran daripada tubuh kita. Kenneth Gergen, seorang profesor psikologi dari Swarthmore College, Pennsylvania, menemukan yang dinamakan fenomena ‘absent presence’. Absent presence adalah ketika kita secara fisik berada di sebuah ruangan tapi ‘tidak hadir’ di dalamnya. Hal ini pun dapat mempengaruhi cara kita menikmati hidup dan berpikir jernih.
Saya teringat pernah beruntung memiliki kesempatan retret bersama Thich Nhat Hanh, pemuka agama Buddha ternama di dunia. Beliau mengatakan: “Saat mencuci piring, seharusnya hanya itu saja yang kita lakukan—kita harus sadar sepenuhnya bahwa kita sedang mencuci piring.”
Terdengar membosankan? Menurut saya sih tidak. Saat retret, kami diminta untuk benar-benar fokus meresapi setiap aktivitas yang kami lakukan. Ketika kondisi pikiran saya sudah fokus, hal sesimpel mencuci piring berhasil membuat saya ‘puas’. Dari merasakan sensasi air hangat, busa sabun, hingga tindakan mengubah sesuatu yang semula kotor menjadi bersih.
Saat kita mendengarkan musik atau hiburan audio lainya, apa yang biasanya terjadi? Ya, anggota keluarga berkumpul dalam satu ruangan yang sama namun fokus pada gadget-nya masing-masing. Kita sedang menikmati hari libur, lalu kenapa kita tidak menghabiskan waktu bersama-sama? Karena banyaknya pilihan hiburan yang tersedia membuat kompromi tidak lagi relevan. Mengapa kita harus sepakat memilih satu genre musik ketika saya bisa mendengarkan The Beatles di saat yang bersamaan suami saya mendengarkan lagu Aerosmith favoritnya?
Di sisi lain, kebiasaan ‘soundtrack tiada akhir’ ini mempengaruhi performa kita bekerja. Secara keseluruhan, kita telah memahami dampak negatif dari multitasking yang bahkan mampu menurunkan IQ kita. Menariknya, University of Cambridge menemukan bahwa mental multitasking dapat menurunkan performa kita dalam melakukan aktivitas non-kognitif seperti berolahraga. Penelitian dari klub dayung universitas yang sama menunjukkan bahwa kekuatan mendayung para atlet dapat menurun hingga 12.6% dikarenakan sebuah fenomena bernama ‘selfish brain’, yakni ketika otak memprioritaskan kebutuhan energinya sendiri dibandingkan kebutuhan organ lain seperti otot.
Input auditori yang secara terus-menerus kita terima pun mempengaruhi kapasitas otak dalam mempertahankan konsentrasi. Hal tersebut dikarenakan pikiran kita tanpa henti-hentinya merasakan berbagai stimulus sehingga kesulitan untuk mencapai keadaan fokus yang diperlukan dalam pengembangan ide serta pemecahan masalah yang kompleks.
Seiring berjalannya waktu, saya belajar bahwa tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk mengubah kebiasaan keluarga saya ini. Namun, setidaknya kami menerapkan hari tanpa gadget setiap hari Minggu. Di luar kesepakatan ini, saya akan berkomitmen pada diri sendiri untuk melakukan sebagai berikut:
Saya akan menjadi lebih peka terhadap segala hiburan dan stimulasi yang saya terima setiap harinya. Poin pentingnya bagi saya adalah mengurangi ‘grouting tendency’ atau kecenderungan untuk selalu mengisi waktu kosong. Sebaliknya, saya akan berusaha untuk menahan keinginan tersebut dan menikmati waktu senggang yang saya punya.
Saya akan lebih bijak mengatur waktu. Dalam rangka mengatasi grouting tendency, saya akan mengatur masing-masing waktu untuk melatih mindfulness, berinteraksi sosial (tanpa distraksi atau gadget), dan menikmati hiburan.
Saya akan meresapi keragaman suara alam. Tentunya saya bersyukur dengan segala teknologi yang ada sekarang. Namun, hiburan yang selalu menemani kita membuat kita abai terhadap hiruk pikuk lingkungan sekitar. Saya ingin hidup seperti orang-orang zaman dulu, yang menjalani hari dengan kesederhanaan suara alam dan terinspirasi karenanya juga. Saya akan menginspirasi diri sendiri untuk menerima keheningan yang seolah-olah ‘asing’ dewasa ini dan mempercayai anugerah di baliknya.
Pada dasarnya, nilai yang kita pegang teguh tercermin dari tindakan kita. Jika saya ingin menerapkan mindfulness, saya perlu menghargai dan memprioritaskan waktu yang saya berikan untuk hal tersebut. Begitu juga dengan kita semua. Saya harap anda dapat komit untuk mengurangi konsumsi hiburan yang berlebihan dan biarkan diri mengapresiasi waktu yang ada bersama orang-orang tersayang.
Inilah tantangan yang ada di hadapan kita. Untuk menikmati segala jenis hiburan yang ada tanpa kehilangan kehadiran dan koneksi diri dalam prosesnya. Saya yakin dengan satu langkah sederhana, kita dapat melakukannya bahkan menginspirasi orang-orang di sekitar kita.
Adakah kegiatan atau waktu tertentu di mana anda secara sadar memilih untuk melepaskan diri dari hiburan audio? Apa sajakah itu dan seperti apa pengalaman anda?
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milikJuliet Funt.
Perencanaan keuangan yang baik membuat kita dapat mengatur pengeluaran secara efektif demi meraih tujuan finansial. Sayangnya, saat ini masih banyak yang melakukan kesalahan umum dalam melakukan perencanaan keuangan. Empat kesalahan umum itu adalah tidak mencatat keuangan dengan baik, tidak tahu harus mulai darimana, tidak punya tujuan yang jelas, dan lingkungan yang tidak mendukung.
Tahukah kamu tentang salah satu faktor terpenting dalam Science of Building Leaders? Yup, mindful leadership! Simak videonya yuk untuk belajar lebih mengenai mindful leadership!