2021 akan segera berakhir dan bagi banyak orang itu berarti mengakhiri 2 tahun masa paling menegangkan dalam kehidupan karier mereka.
Berbeda dengan tren the great exodus yang terjadi di “negara-negara barat”, di Indonesia beberapa orang justru bilang bahwa mereka yang masih punya pekerjaan di 2 tahun ini, seharusnya bersyukur.
Secara data, mungkin saja apa yang dikatakan orang-orang ini ada benarnya. Menurut bps.go.id, jumlah penduduk yang bekerja menurun sebanyak 628.280 orang dari tahun 2019. Walaupun seolah-olah tampak seperti ada begitu banyak orang yang tidak mempunyai pekerjaan, sebenarnya sekitar 93% angkatan kerja di Indonesia masih memiliki pekerjaan.
Di sisi lain, berbagai portal berita memberitakan bahwa ekonomi Indonesia akan jadi lebih baik di tahun 2022. Setidaknya perbandingan tahunan kinerja produksi nasional (GDP) kita menunjukkan peningkatan signifikan dari -5,32% di triwulan kedua tahun 2020 menjadi +7,07% di triwulan kedua tahun 2021.
Jadi mungkin kita bisa berharap, tahun 2022 ekonomi Indonesia secara makro akan kembali seperti tahun 2019.
Tapi, dari sudut pandang para pekerja atau pencari kerja, tren apa yang mungkin bisa kita harapkan terjadi di tahun 2022?
Baca juga: 5 Hard Skills yang Paling Dicari Perusahaan Startup
Kompetensi yang paling dicari para start up
Di bulan September 2021, untuk pertama kalinya LinkedIn mempublikasikan daftar 15 startups di Indonesia. Walaupun dari berbagai sumber yang tim saya berhasil kumpulkan, ke-15 perusahaan ini hanya menyerap tidak sampai 1% dari jumlah tenaga kerja kita, tapi menurut Simon
Kahn, marketing vice president Google, negara-negara di Asia Pasifik akan menjadi pemimpin dan pusat dari inovasi-inovasi digital.
Dan seperti yang sudah terjadi, apa yang tampak trending akan cenderung dipersepsi sebagai “syarat mencapai kesuksesan di masa depan” oleh perusahaan-perusahaan yang lain.
Jadi kompetensi apa yang paling dicari oleh top 15 startups ini?
Secara “kelompok nama”, jabatan-jabatan yang terkait dengan IT, finance, operation, visual designer, dan business development menduduki posisi tertinggi. Tapi secara kompetensi, pengetahuan dan keterampilan profesional yang paling banyak dibutuhkan terkait dengan programming dan adobe photoshop.
Ini berarti jika Anda memiliki pengalaman kerja di bidang IT, finance, operation, visual designer, dan business development, maka resume itu akan menarik mata para recruiter. Tapi dari segi kompetensi, Anda yang bisa menunjukkan kompetensi programming dan adobe photoshop, punya peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan.
Baca juga: Menuju Indonesia Maju Melalui Digital Leadership
Makin banyak yang mengambil jalur double job
Menurut antaranews.com jumlah penjual di 2021 di Tokopedia saja meningkat sebanyak hampir 1,5 juta penjual menjadi sekitar lebih dari 10 juta penjual. Di sisi konsumen, saya yakin banyak di antara kita yang makin sering berbelanja secara online.
Jadi dari sisi penjual maupun pembeli, kita makin terbiasa membeli sesuatu secara online. Tapi siapa yang menjual di digital market place platforms itu? Sayang sekali saya belum berhasil menemukan data tertulis. Tapi coba pikirkan sejenak. Apakah para penjual ini hanya berasal dari toko offline yang mulai beranjak ke online atau juga para “perorangan”?
Sebagai informasi pembanding yang sangat dekat dengan saya, asisten rumah tangga di rumah saya juga melakukan bisnis drop shipping. Beberapa teman juga bercerita bahwa karyawan mereka juga memiliki “usaha sampingan” berupa toko online.
Jadi, sepertinya makin banyak orang yang memiliki pekerjaan sampingan.
Itu baru dari bisnis produk yang diperjual belikan secara online. Bagaimana dengan industri yang menggunakan strategi marketing associate, seperti property agents, asuransi, atau MLM? Salah satu klien saya yang bergerak di industri real estate agent mencatat pertumbuhan tim yang signifikan sejak semester kedua tahun 2020. Saya yakin secara umum rekan-rekan yang ada di industri asuransi & MLM juga mempunyai pengamatan yang sama.
Berdasarkan informasi-informasi ini, sepertinya memang makin banyak orang yang mengambil jalur double job.
Baca juga: 8 Skill Penting yang Sangat Dibutuhkan di Masa Depan
Implikasi bagi perusahaan
Dengan makin banyaknya orang yang mengambil jalur double job atau mempunyai pekerjaan sampingan, maka energi dan fokus karyawan akan rawan terbagi.
Reaksi natural para pemimpin perusahaan adalah membuat keputusan itu menjadi “tabu”. Di sisi lain, karyawan akan merasa bahwa mempunyai pekerjaan sampingan sebenarnya bukan lagi sekedar pilihan. Tapi keharusan.
Alih-alih secara “hitam-putih” melarang hal ini, menurut saya apa yang bisa kita lakukan sebagai pemimpin perusahaan adalah mengekspresikan kepedulian kita dan memperbanyak komunikasi yang sifatnya dari manusia yang satu ke manusia yang lain.
Mempunyai pekerjaan sampingan memiliki konsekuensi yang berat. Mereka harus bekerja mungkin hampir 20 jam nonstop. Itu berarti mereka kehilangan waktu bersama dengan keluarga, waktu untuk mengisi ulang daya mental mereka, dan sebagainya.
Jadi, kenapa mereka mengambil keputusan dengan konsekuensi yang berat itu? Semoga pertanyaan ini bisa memicu rasa empati dan bukannya penghakiman.
Baca juga: Pekerjaan Tidak Sama dengan Latar Belakang Pendidikan
Implikasi bagi para profesional
Jika makin banyak perusahaan yang mengijinkan atau setidaknya memaklumi praktek double job, maka akan makin banyak perusahaan juga yang lebih fokus ke manfaat yang kita berikan dan bukan sekedar lama kita bekerja.
Jadi kebiasaan untuk selalu upgrade professional competencies, bukan lagi sebuah pilihan (merasa perlu atau tidak perlu) atau kemewahan (bisa atau tidak bisa). Melainkan sebuah keharusan, jika kita ingin memiliki karier yang kokoh.
Implikasi bagi para pencari kerja
Sebagian besar generasi Y atau para millennials, terutama yang tinggal di kota-kota besar, dibesarkan dengan konsep “follow your passion”. Konsep ini membuat kita (termasuk saya dulu) berpikir bahwa kita harus menemukan pekerjaan atau bisnis yang menjadi “the one”. Pekerjaan atau bisnis yang kita sukai, menghasilkan income yang fantastis, dan membuat kita happy.
I think we should move on from that idea.
Saya tidak mengatakan kita harus bekerja hanya demi uang dan “mencari makan”, seperti generasi orang tua kita. Tapi, setidaknya lupakan ide tentang berburu passion untuk sementara, setidaknya di awal kariermu.
Tuhan, alam semesta, orang lain atau siapapun dan apapun itu tidak punya kewajiban untuk melayani keinginan kita. Dunia bisnis berjalan karena pertukaran manfaat (value exchange). Hidup ini akan terasa lebih nyaman ditinggali ketika kita fokus memberi manfaat. Bukan mengambil manfaat.
Jadi, sembari terus mengirimkan belasan, puluhan, atau ratusan lamaran itu, luangkan waktu untuk mengembangkan kapasitas profesional kita dalam memberi manfaat bagi calon pemberi kerja atau klien kita.
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Eri Silvanus
Tonton juga: