Sebelumnya saya mengatakan bahwa pembunuh serial para perusahaan-perusahaan besar itu adalah Teknologi Digital. Nah tulisan saya kali ini mewakili 'Hak Jawab' si tersangka (Teknologi Digital). Kata si tersangka, "It's not me. It's you". Bukan aku yang membunuhmu, melainkan dirimu sendiri.
Bagaimana mungkin sebuah perusahaan membunuh dirinya sendiri? Yuk kita simak penjelasan dan argumentasinya. Saya memulai kisah ini dengan kembali ke abad 18, yaitu pada masa-masa revolusi industri yang bermula pertama kali di Inggris Raya.
Dimulai dengan hadirnya teknologi mekanik, pabrik-pabrik besar muncul dengan metode dan desain rangkaian perakitan (assembly line). Sejak itu proses produksi berubah untuk selamanya. Manusia mampu memproduksi barang lebih cepat, lebih efisien, dan menggunakan jumlah orang lebih sedikit.
Hanya saja pada masa itu semua teknologi tersebut digerakkan oleh energi air (dikemudian hari diganti oleh batu bara). Karena itu, ada batasan ketika Anda ingin membangun pabrik. Pabrik yang Anda buat harus dekat dengan sumber energi.
Jika pabrik Anda digerakkan oleh energi air, berarti lokasi pabrik harus ada di dekat sungai. Kemudian rangkaian perakitan (assembly line) harus dibuat sedemikian rupa sehingga energi yang dikirim dari sumber energi air dapat mencapai ke seluruh rangkaian.
Teknologi mekanik yang digerakkan oleh energi air ini memiliki batasan lain, yaitu pekerjaan harus diurutkan sedemikian rupa supaya terakomodir oleh proses kerja mesin mekanik yang ada. Selain itu keterbatasan kekuatan energi air membuat panjang rangkaian perakitan juga jadi terbatas.
Desain pabrik dan cara kerja seperti itu berjalan hampir dua abad lamanya.
Baca juga: 5 Mitos Berbahaya dalam Leadership
Kemudian di awal abad 20 lahir teknologi baru bernama listrik. Hebatnya energi listrik ini adalah energi tersebut bisa dikirimkan ke lokasi yang jauh dari sumbernya. Dengan begitu, pabrik bisa didirikan dimana saja dengan ukuran seberapapun besarnya.
Manfaat lain adalah rangkaian perakitan bisa dibuat lebih fleksibel dengan konfigurasi apapun tanpa harus berurutan dimana beberapa bagiannya bisa dipindah-pindahkan untuk menciptakan efisiensi baru. Misalnya dibuat seperti aliran sungai dengan beberapa hilir (anak sungai) yang kemudian bermuara pada satu titik yang sama dimana produk akhir tercipta. Itu sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kehadiran listrik membuka kesempatan-kesempatan baru yang tidak dimungkinkan sebelumnya. Produktivitas dan efisiensi berlipat ganda. Maka sewajarnyalah jika para pengusaha atau pemilik pabrik saat itu berlomba-lomba mengadopsi teknologi baru ini. Begitu bukan?
Sayangnya... bukan.
Mereka yang sudah memiliki pabrik dan mengoperasikannya selama bertahun-tahun tidak punya kemampuan berpikir dengan cara yang baru. Desain pabrik yang mereka tahu itu ya yang digerakkan oleh energi air. Cara kerja yang mereka tahu itu ya yang selama ini mereka kerjakan.
Walaupun akhirnya mereka mulai menggunakan listrik sebagai sumber energi untuk pabrik mereka, ternyata mereka masih mendesain pabrik mereka seperti layaknya membangun pabrik berdasarkan energi air, termasuk sistem proses dan cara kerja para karyawan mereka.
Saat itu muncul perusahaan-perusahaan startup yang mengkampanyekan dan menawarkan teknologi baru ini ke pemilik-pemilik pabrik. Mereka bahkan mengirimkan konsultan, pelatih, mentor untuk menyadarkan dan mengajari mereka bagaimana cara mengadopsi teknologi baru itu.
Dari membantu mengubah cara berpikir hingga memasang motor listrik. Dari mendesain layout pabrik yang baru, hingga merekonfigurasi cara mengoperasikan pabriknya. Para konsultan, pelatih dan mentor ini tidak lelah berupaya membawa para pemilik pabrik masuk ke era yang baru.
Hasilnya? Tidak semua teryakinkan. Bahkan kebanyakan masih saja kekeuh menggunakan cara-cara lama dengan sejuta alasannya. Bagaimana dampaknya? Anda sudah bisa tebak sendiri. Siapa yang punah, dan siapa yang mampu bertahan hingga akhirnya berjaya.
Fast forward abad 21. Teknologi digital lahir. Seperti biasa, kehadiran teknologi baru mengubah segalanya. Cara kerja berubah. Struktur organisasi berubah. Model bisnis berubah. Ekspektasi pelanggan pun berubah.
Dan sejarah pun terulang kembali.
Baca juga: 6 Hal yang Diperlukan untuk Menjadi Seorang Wirausaha
Para konsultan, pelatih, mentor berupaya menyadarkan dan mengajari bagaimana cara mengadopsi teknologi baru itu. Para pemilik perusahaan merespon sama seperti dulu para pemilik pabrik merespon. Setengah hati atau bahkan tidak sama sekali.
Saya punya klien yang sangat sadar akan pentingnya melakukan transformasi digital. Ditopang oleh dana yang melimpah, perusahaan ini mengadopsi semua teknologi digital yang ada dan membawanya ke dalam perusahaan. Sayangnya semua itu tidak diikuti oleh perubahan pikiran dan perilaku dari karyawannya. Bungkusnya digital tapi cara kerjanya masih analog. Pola kerja dan cara berpikirnya tidak berubah.
Sejarah benar-benar sedang terulang kembali.
Teknologi akan selalu bergerak maju. Jika Anda tidak maju bersamanya, Anda akan tertinggal dan mati. Jadi apa yang membuat banyak perusahaan tidak bisa bertransformasi? Kajian dari majalah Forbes menyebutkan bahwa 84% upaya transformasi digital perusahaan gagal bukan karena faktor teknologi, melainkan karena faktor orang.
Maka itulah argumentasinya. Teknologi digital tidak bersalah. Ia adalah sebuah keniscayaan sebuah peradaban yang bergerak maju. Para karyawan dan pimpinannya yang perlu dibawa ke pengadilan. Jangan-jangan merekalah justru yang menjadi silent killer yang secara diam-diam membunuh perusahaannya sendiri.
Bagaimana dengan Anda? Bagaimana Anda merespon perkembangan teknologi digital saat ini? Sudahkah Anda mengadopsi teknologi digital? Ingatlah bahwa masa depan perusahaan Anda tergantung dari aksi Anda hari ini.
Maka mulai hari ini bekali diri Anda dengan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana cara membawa perusahaan Anda masuk ke era digital. Belajarlah dari orang-orang terbaik yang telah terbukti berhasil melakukan transformasi digital di perusahaannya.
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Indrawan Nugroho