Fashion telah lama dikenal sebagai salah satu industri paling tidak ramah lingkungan di dunia. Sayangnya, konsumen cenderung bertindak seperti pengamat pasif di tempat kejadian perkara–menyalahkan sepenuhnya pada produsen atas segala limbah yang mereka buat. Sementara perusahaan dituntut untuk mengadopsi praktik produksi yang lebih bertanggung jawab, konsumen pun perlu menyadari bahwa mereka secara aktif terlibat dalam tindakan yang sama.
Ekonomi modern yang berevolusi dari output-centric menjadi outcome-centric tidak bisa semata-mata didorong oleh pelaku penawaran. Di sisi lain, pelaku permintaan yakni konsumen pun memiliki peran signifikan dalam mewujudkan keberlanjutan. Namun, upaya keberlanjutan hanya difokuskan pada tahap awal produksi dengan asumsi bahwa semua orang ingin membuat pilihan yang lebih hijau. Hal serupa juga terjadi pada vaksinasi Covid-19, yang mana tidak semua orang ingin divaksinasi.
Dalam menciptakan masa depan yang berkelanjutan, perhatian kita harus melampaui tahap awal produksi semata. Pasalnya, langkah terakhir dalam mewujudkan keberlanjutan jatuh pada peran konsumen. Hal tersebut akan tepat sasaran jika strategi pemasaran yang berlandaskan studi perilaku konsumen (customer behavior) diterapkan.
Baca juga: Pentingnya Kecerdasan Buatan dan Standar Teknologi yang Etis
1. Peran konsumen: memahami alasan kita membeli suatu produk
Dampak dari siklus konsumsi fast-fashion tidak secara langsung dirasakan seperti kita meminum alkohol. Maka dari itu, tidak semua orang menyadari konsekuensi yang tidak tampak dari fast-fashion seperti eksploitasi buruh, penumpukan limbah tekstil, uji coba hewan, bahkan perubahan iklim.
Terlebih, tidak semua konsumen “melek” akan pola konsumsi mereka. Tidak hanya karena kebutuhan, konsumen dapat dipengaruhi oleh keinginan mencapai status sosial dan rasa kecanduan yang menjadi konsep industri fast-fashion itu sendiri. Gen Z misalnya. Meskipun aktif mempromosikan gaya hidup berkelanjutan, Gen Z terbukti berkontribusi besar dalam mendorong pertumbuhan industri fast-fashion.
Gaya hidup berkelanjutan identik dengan mengabaikan manfaat jangka pendek. Contohnya, kita memilih untuk berinvestasi pada pakaian berkualitas dibandingkan produk fast-fashion yang jauh lebih murah. Meskipun lebih mahal, uang yang kita keluarkan sebanding dengan pemakaian jangka panjang yang tentunya berkontribusi pada pengurangan limbah.
Inilah maksud dari istilah intertemporal choice (pilihan antar waktu). Kebanyakan dari kita mengejar kepuasan instan karena terkendalikan oleh hawa nafsu. Kalau bisa sekarang, kenapa harus nanti, kan?
Sebenarnya, kita bisa melestarikan lingkungan dengan mengenakan pakaian lama atau membeli baju bekas. Tapi, tidak semua orang bisa berpikiran seperti ini. Di sinilah perusahaan memainkan peranan penting.
Mengendalikan diri dari pembelian impulsif
Kita paham betul bagaimana mengendalikan diri itu tidak mudah. Apalagi menahan godaan untuk membeli suatu produk yang kita inginkan demi melestarikan lingkungan. Satu-satunya cara adalah dengan membangun komitmen peduli lingkungan dan sebisa mungkin mengabaikan godaan yang bisa datang dari mana saja.
Sebelum berkomitmen, kita bisa menentukan pre-komitmen untuk meningkatkan kedisiplinan diri. Seperti kalanya kita menghindari lorong junk food di supermarket supaya tidak kebablasan membeli makanan ringan.
Agar komitmen tersebut bisa menjadi kebiasaan baik, penulis buku Good Habits, Bad Habits: The Science of Making Positive Changes That Stick, Wendy Wood, menyebutkan bahwa kuncinya adalah dengan membangun lingkungan yang mendukung perilaku baik dan menyulitkan kebiasaan buruk.
Baca juga: 8 Strategi Psikologis Influencer dalam Memasarkan Produk
2. Peran pemasar: mengedukasi konsumen