Conscious Consumption: Kunci Mewujudkan Dunia Berkelanjutan

Dec 29, 2023 5 Min Read
belanja
Sumber:

Pressfoto dari Freepik.com

Customer behavior, kunci dalam mewujudkan sustainable fashion

Fashion telah lama dikenal sebagai salah satu industri paling tidak ramah lingkungan di dunia. Sayangnya, konsumen cenderung bertindak seperti pengamat pasif di tempat kejadian perkara–menyalahkan sepenuhnya pada produsen atas segala limbah yang mereka buat. Sementara perusahaan dituntut untuk mengadopsi praktik produksi yang lebih bertanggung jawab, konsumen pun perlu menyadari bahwa mereka secara aktif terlibat dalam tindakan yang sama.

Ekonomi modern yang berevolusi dari output-centric menjadi outcome-centric tidak bisa semata-mata didorong oleh pelaku penawaran. Di sisi lain, pelaku permintaan yakni konsumen pun memiliki peran signifikan dalam mewujudkan keberlanjutan. Namun, upaya keberlanjutan hanya difokuskan pada tahap awal produksi dengan asumsi bahwa semua orang ingin membuat pilihan yang lebih hijau. Hal serupa juga terjadi pada vaksinasi Covid-19, yang mana tidak semua orang ingin divaksinasi.

Dalam menciptakan masa depan yang berkelanjutan, perhatian kita harus melampaui tahap awal produksi semata. Pasalnya, langkah terakhir dalam mewujudkan keberlanjutan jatuh pada peran konsumen. Hal tersebut akan tepat sasaran jika strategi pemasaran yang berlandaskan studi perilaku konsumen (customer behavior) diterapkan.

Baca juga: Pentingnya Kecerdasan Buatan dan Standar Teknologi yang Etis

1. Peran konsumen: memahami alasan kita membeli suatu produk

Dampak dari siklus konsumsi fast-fashion tidak secara langsung dirasakan seperti kita meminum alkohol. Maka dari itu, tidak semua orang menyadari konsekuensi yang tidak tampak dari fast-fashion seperti eksploitasi buruh, penumpukan limbah tekstil, uji coba hewan, bahkan perubahan iklim.

Terlebih, tidak semua konsumen “melek” akan pola konsumsi mereka. Tidak hanya karena kebutuhan, konsumen dapat dipengaruhi oleh keinginan mencapai status sosial dan rasa kecanduan yang menjadi konsep industri fast-fashion itu sendiri. Gen Z misalnya. Meskipun aktif mempromosikan gaya hidup berkelanjutan, Gen Z terbukti berkontribusi besar dalam mendorong pertumbuhan industri fast-fashion.

Gaya hidup berkelanjutan identik dengan mengabaikan manfaat jangka pendek. Contohnya, kita memilih untuk berinvestasi pada pakaian berkualitas dibandingkan produk fast-fashion yang jauh lebih murah. Meskipun lebih mahal, uang yang kita keluarkan sebanding dengan pemakaian jangka panjang yang tentunya berkontribusi pada pengurangan limbah.

Inilah maksud dari istilah intertemporal choice (pilihan antar waktu). Kebanyakan dari kita mengejar kepuasan instan karena terkendalikan oleh hawa nafsu. Kalau bisa sekarang, kenapa harus nanti, kan?

Sebenarnya, kita bisa melestarikan lingkungan dengan mengenakan pakaian lama atau membeli baju bekas. Tapi, tidak semua orang bisa berpikiran seperti ini. Di sinilah perusahaan memainkan peranan penting.

Mengendalikan diri dari pembelian impulsif

Kita paham betul bagaimana mengendalikan diri itu tidak mudah. Apalagi menahan godaan untuk membeli suatu produk yang kita inginkan demi melestarikan lingkungan. Satu-satunya cara adalah dengan membangun komitmen peduli lingkungan dan sebisa mungkin mengabaikan godaan yang bisa datang dari mana saja.

Sebelum berkomitmen, kita bisa menentukan pre-komitmen untuk meningkatkan kedisiplinan diri. Seperti kalanya kita menghindari lorong junk food di supermarket supaya tidak kebablasan membeli makanan ringan.

Agar komitmen tersebut bisa menjadi kebiasaan baik, penulis buku Good Habits, Bad Habits: The Science of Making Positive Changes That Stick, Wendy Wood, menyebutkan bahwa kuncinya adalah dengan membangun lingkungan yang mendukung perilaku baik dan menyulitkan kebiasaan buruk. 

Baca juga: 8 Strategi Psikologis Influencer dalam Memasarkan Produk

2. Peran pemasar: mengedukasi konsumen

Alt

George Milton dari Pexels.com

Komitmen dan kebiasaan pribadi mungkin tidak cukup untuk membuat perubahan yang signifikan. Maka dari itu, perusahaan (melalui tim pemasarannya) dapat ikut andil dengan mempengaruhi konsumen agar lebih bijak membelanjakan uang mereka.

Hal tersebut mengingatkan kita pada konsep pilihan antar waktu, di mana riset konsumen menunjukkan bagaimana perusahaan dapat membantu konsumen melihat masa depan mereka secara konkret–misalnya dengan memvisualisasikan penampilan seseorang di umur 50 tahun untuk mempromosikan krim anti aging. Teknologi tersebut dapat membantu konsumen untuk melihat masa depan mereka secara jelas dan memutuskan untuk berinvestasi pada “keuntungan” yang lebih besar.

Alasan utama mengapa kita sangat sulit untuk mengendalikan nafsu dan membentuk kebiasaan hidup sederhana adalah bahwa tidak adanya pendekatan yang one size fits all. Pada umumnya, tim pemasaran sudah memiliki target pasar. Namun, hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan kebiasaan bijak dalam berbelanja menyesuaikan karakteristik dan kebutuhan konsumen yang berbagai macam.

Misalkan, ada konsumen yang kurang paham akan jejak karbon yang ia hasilkan (jika kamu merasa memiliki pemahaman yang baik, silakan coba kuis ini). Bagi sebagian orang, hal ini sangat penting dan dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan mereka. 

Cara lain adalah dengan memanfaatkan pengaruh yang jelas-jelas dimiliki oleh para atlet, artis, dan influencer. Poin pentingnya adalah menggeser fokus pemasaran dari yang semata-mata mendorong perilaku konsumtif konsumen menjadi lebih mengedukasi.

Baca juga: 5 Upaya Membuat Perusahaan Lebih Ramah Lingkungan

3. Peran produsen: Stella McCartney dan tas vegan yang mendunia

Perancang busana Stella McCartney memberikan contoh penting dalam memberikan solusi ramah lingkungan yang langsung diterapkan pada produknya. Sejatinya pemimpin visioner akan berfokus di sisi hulu masalah dan McCartney tidak hanya sekedar melakukan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan.

Ketika berdiskusi dengan kami di INSEAD Alumni Forum Europe di London, McCartney mengatakan: “Hal terpenting bagi saya adalah untuk tidak mengorbankan gaya demi keberlanjutan.” Ia menambahkan: “Merancang busana yang timeless dan berkualitas pun merupakan bisnis tersendiri, karena ada nilai tambah untuk disewakan atau dijual kembali.”

“Sudah seharusnya hewan tidak dikorbankan demi fashion,” ujarnya. “Untuk sebuah tas? Sangat disayangkan sekali.”

McCartney menjelaskan bahwa dirinya memiliki kesadaran untuk terus menelaah setiap proses perancangan busananya. Kemudian, ia menemukan bahan ramah lingkungan seperti kulit jamur atau kain sutera dari jaring laba-laba. Melalui penemuan tersebut, McCartney memiliki tujuan besar untuk mentransformasikan industri yang ia geluti. Salah satunya dengan mendesak tim Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk mengubah skema pajak yang merugikan impor kulit vegan dibandingkan kulit hewan.

McCartney menyadari pengaruh yang dimilikinya dan merasa bertanggung jawab untuk mendukung perancang busana lain yang juga memperjuangkan fashion berkelanjutan. Namun, persoalannya adalah bagaimana perusahaan lain (bahkan yang di luar industri fashion dan sektor luxury) dapat mengikuti jejaknya. 

Begitulah contoh upaya dari perancang busana sebagai pelaku penawaran. Jika kita sebagai pelaku permintaan juga bertindak dengan menerapkan pola konsumsi dan belanja yang bijak, maka semakin dekat pula kita dalam mewujudkan dunia yang berkelanjutan.

insead

Artikel ini diterbitkan ulang atas izin INSEAD Knowledge (http://knowledge.insead.edu). Hak Cipta INSEAD 2023.

Share artikel ini

Bisnis

Tags: Sifat Positif

Alt

Hilke adalah seorang Associate Professor of Marketing dan Chaired Professor of Neuroscience di INSEAD, Prancis. Ia menekuni penelitian di bidang pembuatan keputusan (decision making) yang bersinggungan dengan ilmu neurosains, psikologi, dan ekonomi. 

Alt

Subramanian adalah seorang Profesor Strategi dan Manajemen di INSEAD. Ia memperoleh gelar Magister Administrasi Bisnis di MIT dan gelar Doktor bidang ekonomi politik di Harvard University.


 

Alt

Ebba merupakan Director of External Relations di INSEAD.

Alt

Mungkin Anda Juga Menyukai

Kekuatan dari Kecerdasan Kolektif

Kekuatan dari Kecerdasan Kolektif

OLEH NATHAN FURR. Sebuah pemikiran tentang keadaan struktur organisasi. Di dalamnya, penulis membahas pro dan kontra dari struktur hierarki tradisional dan lebih banyak struktur non-hierarkis yang bergantung pada kecerdasan kolektif.

Feb 07, 2022 2 Min Read

Alt

Memelihara Budaya Kerja Bersama Tim

Dalam wawancara ini, kami banyak berbincang tentang bekerja tim. Dimitry sebagai seorang yang sampai sekarang ini sedang bekerja pada sebuah organsiasi yang terhitung telah dijalani selama 14 tahun sampai wawancara ini dilakukan melihat 4 point penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin untuk dapat menjalankan kepemimpinan tim.

Apr 28, 2021 33 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest