“Aku nggak merasa pintar, tapi disiplin dan punya rasa ingin tahu yang tinggi,” ujar Ayesha Felice, pendiri organisasi non-profit Gores Denai.
Semangat Ayesha berkontribusi di bidang pendidikan berangkat dari keresahannya kala duduk di bangku SMA. Sebagai anak muda yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, Ayesha gemar mencari kesempatan di ranah internasional yang tidak ia dapatkan dari sekolahnya kala itu.
Inisiatifnya pun membuahkan hasil. Di tahun 2019, ia menerima penghargaan Most Outstanding Delegate dari Global Youth Model United Nations (MUN) yang diikutinya di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun, Ayesha mengernyitkan dahi ketika semua pihak di sekolahnya tidak tahu apa itu MUN.
“Kalau ku perhatiin, temen-temenku dari sekolah internasional sangat didukung untuk berkompetisi di skala internasional, entah itu dengan adanya coach, funding, atau komunitas orangtuanya. Sayangnya, aku nggak dapat hal yang sama dari sekolah negeri,” ujar Ayesha. Celah inilah yang disoroti Ayesha melalui Gores Denai yang didirikannya pada umur 15 tahun.
Sebelum kuliah di Belanda, Ayesha selalu menempuh pendidikannya di sekolah negeri. Ia pun tidak pernah mengikuti les bahasa Inggris. Menurutnya, pelajar di sekolah negeri hanya butuh sosok role model yang mengarahkan pola pikir mereka bahwa mereka pun bisa berkarya di luar tanah air.
Alhasil, perhatian Ayesha terhadap isu tersebut terwadahi melalui Gores Denai. Mulanya, Gores Denai fokus membagikan informasi seputar MUN. Kini, Gores Denai memiliki beberapa program seperti Gores Denai Mentorship Program (GDMP), workshop Gores Denai Hands-on Program (GDOH), dan program kurikulum Gores Denai Enrichment Program (GDEP). Secara keseluruhan, program-program tersebut ditujukan untuk memperluas wawasan pelajar sekolah negeri terkait kesempatan lintas negeri seperti lomba dan beasiswa. Terhitung sekitar 1.000 orang lebih telah mengikut program yang dilaksanakan Gores Denai.
Baca juga: Seni Bersaing dengan Diri Sendiri