“A leader is a coach not a judge” - Edward Deming
Dalam sebuah buku karangan Leigh Branham yang berjudul 7 Hidden Reasons Why Employee Leave Their Organization; terdapat sebuah fakta menarik. Hampir 90% manager berpikir bahwa karyawan pindah pekerjaan atau mengundurkan diri karena faktor penghasilan yang lebih baik. Namun, ketika para karyawan diwawancara hanya ada 12% yang menyatakan bahwa mereka pindah karena faktor penghasilan yang lebih baik, sementara 88% lainnya mempertimbangkan “faktor lain”.
Faktor lain menurut hasil riset tersebut adalah ketidakpercayaan terhadap pimpinan, tidak mendapatkan umpan balik yang cukup, tidak ada kesempatan untuk berkembang, workload pekerjaan, tidak sesuai antara pekerjaan dan keahlian, hingga merasa tidak dihargai. Jika kita lebih cermati, "faktor lain" tersebut merujuk pada pemimpin yang memegang kendali terhadap semua faktor yang telah disebutkan.
Jadi, seseorang sebenarnya bukan meninggalkan perusahaan, tapi mereka meninggalkan atasannya.
Tidak ada sekolah yang mengajarkan seseorang untuk menjadi seorang pemimpin, sama seperti kita menjadi orang tua. Banyak sekali kejadian di mana pemimpin hanya peduli terhadap hasil (menagih), namun lupa untuk mengembangkan karyawannya (menuntun). Kebanyakan dari mereka masih memiliki pola pikir bekerja untuk dirinya sendiri sama seperti sebelum mereka dipromosi menjadi seorang pemimpin.
Baca juga: 8 Tips Membangun Kepercayaan dalam Tim
Mereka berpikir ukuran keberhasilan hanyalah berupa pencapaian target yang telah ditetapkan. Namun, mereka kadang lupa sebagai seorang pemimpin, sasaran hanya dapat dicapai jika timnya bekerja dengan baik. Yang sering terjadi adalah mereka sering kali mengambil alih pekerjaan yang menurut mereka tidak dapat dikerjakan dengan baik oleh anggota timnya dengan alasan sudah tidak ada waktu lagi untuk meng-coach anggota timnya.
Akibatnya, pemimpin sering merasa kewalahan karena timnya tidak mampu menjalankan pekerjaan sesuai ekspektasinya dan anggota tim merasa tidak diberikan umpan balik yang cukup untuk menjalankan tugasnya. Seperti sebuah lingkaran setan, masalah ini pun terus berulang dan menyebabkan terjadinya banyak kasus seperti disebutkan pada paragraf awal.
Banyak pemimpin merasa mereka telah membimbing karyawannya dengan baik, namun yang terjadi adalah hanya berupa pengarahan satu arah, bahkan mungkin hanya memarahi atau memberikan teguran karena hanya berfokus pada evaluasi kinerja. Sama sekali tidak diberikan ruang bagi anggota untuk belajar.
Ada pun Development Dialogue sebagai salah satu alat untuk membantu pemimpin dalam mengembangkan tim. Development Dialogue merupakan bentuk komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan yang bertujuan untuk mengembangkan tim Anda baik secara personal maupun profesional.
Ada tiga kemampuan yang membuat Development Dialogue efektif:
Baca juga: Cara Menangani Kesalahan Anggota Tim
1. Kemampuan mendengarkan
Memberikan waktu kepada tim untuk lebih banyak mengungkapkan aspirasi dan harapan serta secara bersama-sama mendiskusikan tujuan dan rencana pengembangan yang dimaksud.
Ini adalah bagaimana kita memberikan pertanyaan terbuka melainkan pertanyaan tertutup yang sifatnya hanya mengarahakan pilihan jawaban antara ya atau tidak. Padahal, pertanyaan semacam itu tidak memungkinkan pihak yang menjawab untuk bercerita lebih banyak mengenai permasalahannya dan bagaimana solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
3. Kemampuan untuk memberikan umpan balik
Yakni dengan berfokus pada perilaku melainkan pribadi pihak yang kita berikan umpan balik.
Dengan mengoptimalkan kemampuan di atas, individu akan merasa terlibat aktif dalam pengembangan dirinya yang akhirnya akan meningkatkan keterlibatan individu tersebut hingga meningkatnya kinerja tim secara keseluruhan.
Sebagai penutup sekaligus juga bahan refleksi pribadi, pikirkanlah pertanyaan berikut:
- Sudahkah kita berdiskusi dengan anggota tim kita mengenai pengembangan mereka dalam waktu 3 bulan terakhir?
- Ketika kita melakukan diskusi; sudahkah kita memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk lebih banyak aktif dalam diskusi? Atau kita yang lebih banyak menguasai pembicaraan?
- Apakah rencana tindak lanjut pengembangan sudah kita tindak lanjuti? Bagaimana efektivitasnya? Sudahkah kita evaluasi tindak lanjut pengembangan tersebut?
Jika jawabannya lebih banyak tidak, maka sudah saatnya kita mulai menjadi pemimpin yang menghasilkan pembelajar tangguh.
Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Steven Yudiyantho.