Mengapa Orang Indonesia Tidak Terbiasa dengan Feedback?

Jan 08, 2025 4 Min Read
wanita kantoran
Sumber:

Benzoix dari Freepik.com

Feedback sering disebut sebagai "hadiah" dalam dunia profesional dan personal. Namun, bagi banyak orang Indonesia, menerima atau memberikan feedback bukanlah hal yang mudah. Mengapa bisa begitu? Mari kita bedah dari perspektif budaya, kebiasaan, dan solusi untuk membuat proses ini lebih diterima di Indonesia.

Baca juga: 4 Cara Identifikasi Lingkungan Kerja Toxic

1. Budaya Harmoni: Menjaga Perasaan Lebih Penting

Di Indonesia, budaya kolektivisme sangat kuat. Kita diajarkan sejak kecil untuk menjaga perasaan orang lain dan menghindari konflik. Hal ini membuat kritik, yang biasanya menjadi bagian penting dari feedback, sering dianggap sebagai sesuatu yang kasar atau tidak sopan.

Di tempat kerja, ungkapan seperti "ya sudah, nanti kita lihat lagi" atau "oke, nggak apa-apa" sering kali menjadi cara untuk menghindari konfrontasi langsung. Hasilnya? Feedback konstruktif jarang diberikan secara terbuka, karena takut melukai perasaan orang lain atau merusak hubungan.

Bandingkan dengan budaya di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, di mana feedback dianggap sebagai bentuk perhatian. Di sana, kritik langsung dianggap sebagai cara untuk membantu orang lain berkembang, bukan sebagai serangan personal.

2. Hierarki yang Kuat: Feedback Hanya untuk Atasan?

Budaya hierarki di Indonesia juga memainkan peran besar. Dalam lingkungan kerja, memberikan feedback kepada atasan sering dianggap tabu atau bahkan berisiko. Banyak karyawan merasa tidak nyaman untuk berbicara jujur kepada atasan mereka, karena khawatir dianggap tidak hormat atau menantang otoritas.

Sebaliknya, di negara seperti Belanda, budaya egaliter memungkinkan karyawan untuk memberikan feedback kepada siapa pun, terlepas dari posisi mereka. Bahkan, beberapa perusahaan di sana memiliki sesi feedback dua arah secara rutin untuk memastikan komunikasi yang terbuka.

3. Sensitivitas terhadap Kritik

Orang Indonesia cenderung memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kritik. Hal ini berakar dari pola asuh yang sering kali menggunakan kritik untuk mendisiplinkan, tanpa diimbangi dengan pujian. Akibatnya, banyak orang dewasa yang merasa tidak nyaman saat menerima kritik, karena terbiasa mengasosiasikannya dengan hal negatif.

Sebaliknya, di Jepang, meskipun kritik diberikan dengan cara yang halus dan tersirat, budaya mereka mengajarkan pentingnya refleksi diri (hansei). Kritik diterima sebagai peluang untuk introspeksi, bukan sebagai ancaman.

Baca juga: Cakap dan Keren Memimpin Gen Z

Bagaimana Agar Orang Indonesia Lebih Mudah Menerima Feedback?

atasan memberikan feedback kepada karyawannya

Freepik dari Freepik.com

Meskipun tantangan budaya cukup besar, ada beberapa cara untuk membuat orang Indonesia lebih terbuka terhadap feedback:

1. Gunakan Pendekatan Positif 

Feedback yang dimulai dengan pujian atau apresiasi cenderung lebih mudah diterima. Gunakan metode sandwich feedback (pujian – kritik – pujian) untuk mengurangi resistensi.

2. Bangun Kepercayaan 

Orang Indonesia lebih terbuka terhadap feedback dari orang yang mereka percaya. Luangkan waktu untuk membangun hubungan baik sebelum memberikan kritik.

3. Gunakan Bahasa yang Tidak Menghakimi 

Hindari kata-kata seperti "kamu salah" atau "kenapa kamu nggak ngerti". Gunakan bahasa yang fokus pada solusi, seperti "bagaimana kalau kita coba pendekatan ini?"

4. Edukasi Pentingnya Feedback 

Organisasi dan sekolah bisa mengajarkan bahwa feedback adalah cara untuk tumbuh, bukan serangan personal. Dengan pemahaman yang lebih baik, orang akan lebih menerima kritik sebagai bagian dari proses belajar.

5. Latih Kemampuan Memberikan dan Menerima Feedback 

Buat sesi latihan atau workshop tentang bagaimana cara memberikan dan menerima feedback dengan efektif. Berikan simulasi dan contoh nyata agar peserta merasa nyaman.

Feedback adalah elemen penting untuk perkembangan diri dan organisasi, tetapi budaya Indonesia yang menekankan harmoni, hierarki, dan sensitivitas membuatnya menjadi tantangan tersendiri. Dengan pendekatan yang lebih empatik, edukasi, dan komunikasi yang bijak, kita dapat menciptakan budaya feedback yang lebih sehat dan produktif. Siapa tahu, dengan langkah kecil ini, generasi mendatang akan lebih terbiasa dan nyaman dengan feedback sebagai alat untuk tumbuh dan berkembang.

Yuk, mulai biasakan diri untuk memberikan dan menerima feedback! Karena, siapa tahu, "hadiah" ini adalah kunci untuk membuka potensi terbaikmu.

Artikel ini diterbitkan dari akun LinkedIn milik Deddy Mahyarto Kresnoputro.

Share artikel ini

Komunikasi

Tags: Konsultasi

Alt

Head of Student Recruitment and Promotion at IPMI International Business School

Mungkin Anda Juga Menyukai

Komunikasi Interpersonal yang Efektif di Tempat Kerja

Seberapa Intens Komunikasi yang Tergolong Cukup?

OLEH ANIISU K VERGHESE. Layar yang penuh dengan tumpukan email bukanlah tanda dari komunikasi yang efektif. Faktanya, hal tersebut bisa saja menghambat efektivitas Anda dalam berkomunikasi. Simak artikel berikut untuk ulasannya lebih lanjut.

Feb 24, 2022 1 Min Read

Alt

Bagaimana Menghadapi Perbedaan Budaya

Dewasa ini, bekerja bersama antar bangsa bukanlah hal yang jarang terjadi. Di era globalisasi ini, kesempatan bekerja bersama antar bangsa semakin terbuka, tapi yang penting untuk diwaspadai adalah bagaimana sikap terhadap budaya orang lain.

Apr 14, 2021 4 Min Video

Jadi Seorang Pembaca Leader's Digest