Feedback sering disebut sebagai "hadiah" dalam dunia profesional dan personal. Namun, bagi banyak orang Indonesia, menerima atau memberikan feedback bukanlah hal yang mudah. Mengapa bisa begitu? Mari kita bedah dari perspektif budaya, kebiasaan, dan solusi untuk membuat proses ini lebih diterima di Indonesia.
Baca juga: 4 Cara Identifikasi Lingkungan Kerja Toxic
1. Budaya Harmoni: Menjaga Perasaan Lebih Penting
Di Indonesia, budaya kolektivisme sangat kuat. Kita diajarkan sejak kecil untuk menjaga perasaan orang lain dan menghindari konflik. Hal ini membuat kritik, yang biasanya menjadi bagian penting dari feedback, sering dianggap sebagai sesuatu yang kasar atau tidak sopan.
Di tempat kerja, ungkapan seperti "ya sudah, nanti kita lihat lagi" atau "oke, nggak apa-apa" sering kali menjadi cara untuk menghindari konfrontasi langsung. Hasilnya? Feedback konstruktif jarang diberikan secara terbuka, karena takut melukai perasaan orang lain atau merusak hubungan.
Bandingkan dengan budaya di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, di mana feedback dianggap sebagai bentuk perhatian. Di sana, kritik langsung dianggap sebagai cara untuk membantu orang lain berkembang, bukan sebagai serangan personal.
2. Hierarki yang Kuat: Feedback Hanya untuk Atasan?
Budaya hierarki di Indonesia juga memainkan peran besar. Dalam lingkungan kerja, memberikan feedback kepada atasan sering dianggap tabu atau bahkan berisiko. Banyak karyawan merasa tidak nyaman untuk berbicara jujur kepada atasan mereka, karena khawatir dianggap tidak hormat atau menantang otoritas.
Sebaliknya, di negara seperti Belanda, budaya egaliter memungkinkan karyawan untuk memberikan feedback kepada siapa pun, terlepas dari posisi mereka. Bahkan, beberapa perusahaan di sana memiliki sesi feedback dua arah secara rutin untuk memastikan komunikasi yang terbuka.
3. Sensitivitas terhadap Kritik
Orang Indonesia cenderung memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kritik. Hal ini berakar dari pola asuh yang sering kali menggunakan kritik untuk mendisiplinkan, tanpa diimbangi dengan pujian. Akibatnya, banyak orang dewasa yang merasa tidak nyaman saat menerima kritik, karena terbiasa mengasosiasikannya dengan hal negatif.
Sebaliknya, di Jepang, meskipun kritik diberikan dengan cara yang halus dan tersirat, budaya mereka mengajarkan pentingnya refleksi diri (hansei). Kritik diterima sebagai peluang untuk introspeksi, bukan sebagai ancaman.
Baca juga: Cakap dan Keren Memimpin Gen Z
Bagaimana Agar Orang Indonesia Lebih Mudah Menerima Feedback?