“Semisal kalian bingung kenapa akhir-akhir ini saya seperti tidak biasanya… saya sebenarnya sedang hamil!”
Begitulah cara saya mengumumkan kehamilan saya kepada rekan-rekan kerja di acara natal tahunan kami. Saya merahasiakan kehamilan saya selama lima bulan, karena takut ditanya macam-macam.
Begitu mengetahui bahwa saya sedang hamil, banyak sekali yang terbenak dalam pikiran saya. Kekhawatiran saya antara lain:
Apakah saya akan diperlakukan berbeda setelah para atasan tahu saya sedang hamil?
Akankah mereka menanyakan tentang motivasi saya bekerja?
Apakah saya akan diberi lebih sedikit kesempatan untuk mengerjakan proyek yang menarik?
Apakah saya akan dilewatkan untuk kesempatan kerja dan promosi?
Bagaimana reaksi rekan kerja saya terhadap berita ini?
Bagaimana saya akan menyeimbangkan pekerjaan dan menjadi seorang ibu setelah saya selesai cuti hamil?
Sebagai konsultan manajemen di sebuah perusahaan kecil, jumlah pemimpin wanita di tempat kerja kami sangat sedikit. Hanya 20% pemimpin senior kami adalah wanita, tidak satu pun di antara mereka adalah seorang ibu. Dari 35 karyawan, hanya dua yang merupakan working mom dan mereka bekerja paruh waktu hanya tiga hari dalam seminggu.
Bekerja dengan para working mom ini telah membuat saya sangat sadar akan dampak menjadi seorang ibu terhadap pekerjaan. Meskipun ini tidak mewakili semua ibu yang bekerja, ada saat-saat di mana mereka harus pulang kerja lebih awal untuk menjemput anak-anak atau melewatkan rapat penting pada hari libur. Hal ini mempengaruhi kualitas kerja yang kami berikan kepada klien. Pengalaman-pengalaman ini membuat saya ragu apakah wanita benar-benar dapat melakukan semuanya–memiliki karier yang sukses dan menjadi ibu yang berkomitmen.
Bagaimana dengan Anda?
Salah satu rekan kerja saya pernah bercerita: “Sebelum anak kami lahir, istri saya berencana untuk kembali bekerja setelah delapan bulan cuti hamil. Pada bulan keenam, dia menelepon kantor untuk mengundurkan diri. Akhirnya, istri saya memutuskan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga selama delapan tahun.”
Mau tidak mau saya bertanya-tanya, apakah ini akan terjadi pada saya juga? Saya tahu pasti bahwa saya tetap ingin bekerja. Memang wanita merasa berkewajiban untuk tinggal di rumah bersama anak-anak mereka. Mungkin narasi inilah yang mendorong semakin banyak wanita untuk memilih menjadi ibu rumah tangga saja.
Saya merasa bersalah
Coba bayangkan anak Anda yang menangis ketika Anda tinggal kerja. Pikirkan bagaimana Anda menyesal karena telah melewatkan banyak momen dengan anak Anda. Anda tidak bisa menyaksikan senyuman pertama anak Anda, kata pertamanya, langkah pertamanya, dan lain sebagainya.
Bayangkan Anda menerima telepon dari pusat penitipan anak yang menjelaskan dengan detail bagaimana kondisi anak Anda di sana. “Oh, tidak apa-apa kok. Tadi dia jatuh menabrak meja dan sempat menangis, tapi sekarang sudah berhenti.”
Mereka meyakinkan Anda bahwa anak Anda baik-baik saja, tapi yang ingin Anda lakukan hanyalah pergi ke sana secepat mungkin dan memeluk buah hati Anda. Sebaliknya, keinginan Anda terhalang presentasi klien yang perlu Anda perhatikan.
Suatu malam ketika Anda sedang menidurkannya, Anda merasa sangat bersalah. Apakah kami benar-benar membutuhkan penghasilan tambahan? Bukannya lebih baik bila saya tinggal di rumah dan memastikan hal ini tidak pernah terjadi lagi?
Begitulah wanita
Peran laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk budaya tradisional, ekspektasi orang sekitar, bahkan fisik wanita. Laki-laki sebagai pemburu dan peramu bertanggung jawab untuk mencari makanan, sementara perempuan merawat anak-anak dengan menyusui dan mengasuh. Jika perannya ditukar, Google pun akan menunjukkan banyak sekali artikel, penelitian, buku, dan film (misal: The Intern) yang didedikasikan untuk topik ini.
Jika tertarik, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk meneliti hal tersebut. Berpindah dari satu ujung spektrum ke ujung lainnya. Namun, pada dasarnya topik ini cenderung sensitif. Bahkan, hubungan Anda bisa rusak karenanya. Anda mungkin bisa bercerai. Bukankah itu lebih buruk?
Kunci untuk mengimbangkan karier dan peran sebagai ibu